Minggu, 12 Desember 2010

Untung Rugi Larangan Premium Awal Januari Dari 2.800 SPBU di Jawa-Bali, hanya 35% yang siap dengan dispenser BBM nonsubsidi.


Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menilai keputusan pemerintah melarang penggunaan bahan bersubsidi mulai 1 Januari 2011 tampaknya patut ditinjau ulang. Pasalnya potensi penghematan dari larangan Premium dan Solar ini tidak signifikan.


Menurut Pri Agung, yang juga Direktur ReforMiner Institute, infrastruktur dan pendukung pembatasan BBM belum memadai. Dari sekitar 2.800 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jawa-Bali, hanya 35 persen saja yang sudah siap dengan tanki dan dispenser BBM nonsubsidi.

"Dari keterangan Pertamina pun diketahui bahwa dari 600 SPBU di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), 200 di antaranya belum siap mendistribusikan BBM nonsubsidi," kata Pri Agung, Senin 13 Desember 2010.

Dengan kondisi seperti itu, Pri Agung mengatakan, rencana pembatasan BBM bersubsidi belum dapat diterapkan serempak secara nasional mulai 1 Januari 2011. "Yang paling mungkin hanya di Jabodetabek, itu pun juga harus dibarengi dengan gerak cepat membenahi 200 SPBU." ujarnya.

Sebelumnya pemerintah mengeluarkan dua opsi, pertama melarang semua mobil pelat hitam yang diproduksi 2005 atau lebih baru menggunakan premium dan solar. Kedua melarang semua mobil pelat hitam tanpa ada batasan tahun.

Dari kedua skenario tersebut, sepeda motor dan kendaraan umum akan tetap diperbolehkan mengonsumsi BBM bersubsidi. "Sepertinya pemerintah sudah condong pada opsi kedua," katanya.

Kajian ReforMiner Institute, jika diterapkan serempak secara nasional, opsi pertama berpotensi menekan volume konsumsi BBM bersubsidi, khususnya bensin Premium, hingga 7,08 juta kiloliter per tahun, atau kurang lebih setara dengan penghematan Rp10,6 triliun anggaran subsidi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Opsi kedua berpotensi mengurangi volume Premium 11,7 juta kiloliter per tahun, atau kurang lebih bisa menghemat Rp17,6 triliun. Tentunya, bila opsi ini diterapkan di seluruh Nusantara.

"Dalam implementasi di lapangan, opsi kedua relatif jauh lebih sederhana dibandingkan opsi pertama," katanya. Sebab pemerintah tidak memerlukan identifikasi atau pembedaan kendaraan berdasarkan tahun.

Masalahnya, menurut Pri Agung, bila pembatasan BBM hanya dilakukan di Jabodetabek, volume konsumsi BBM bersubsidi yang dapat ditekan pada 2011 pun jelas tidak dapat mencapai 7-11 juta kilo liter, melainkan hanya 500 ribu kilo liter saja.

"Angka ini jika dibandingkan dengan potensi dampak sosial ekonominya yang mungkin timbul, seperti inflasi, kelangkaan, ketidakadilan, kiranya sangat tidak signifikan," ujarnya. "Keputusan ini tampaknya patut ditinjau ulang secara lebih saksama."(VIVA)

Tidak ada komentar: