Jumat, 01 April 2011

Aksi Debt Collector

Nasabah Kartu Kredit Citibank Tewas: Akibat dari Praktek Premanisasi (Citibank Kena Batunya!)


13016390081046081260

Baru saja heboh dengan pegawai seniornya yang bernama Malinda Dee, penggelap uang nasabahnya sejumlah sedikitnya Rp. 17 miliar, Citibank bikin berita baru lagi: Tiga orang debt collector bank asal Amerika Serikat ini diduga menganiaya sampai tewas seorang nasabah kartu kredit bank tersebut!

Pada Selasa, 29/03/2011 pagi, Irzen Octa (56), Sekjen Partai Pemersatu Bangsa (PPB) datang ke kantor Citibank di Lantai 5, menara Jamsostek, setelah diundang pihak bank untuk berbicara mengenai tagihan kartu kreditnya.

Menurut Octa tagihan kartu kreditnya Rp. 48 juta yang hendak dilunasinya saat itu, tetapi menurut Citibank jumlah tagihan yang harus dibayar mencapai Rp 100 juta.

Octa kemudian diminta masuk ke sebuah ruangan negosiasi khusus berukuran sekitar 2×3 meter bersama tiga orang debt collector Citibank (bukan ruangan interogasi?). Tidak lama kemudian, Octa tewas dengan kondisi mulut berbusa dan darah segar keluar dari hidungnya.

Hasil visum RSCM terhadap jenazah, tidak ditemukan lebam yang mengindikasikan adanya penganiayaan fisik. Hanya ditemukan darah, antara lain di hidung korban yang diduga akibat dari adanya pembuluh darah di otak yang pecah.Namun demikian polisi telah menemukan adanya indikasi kuat telah terjadi tindakan kriminal yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa di kantor Citibank itu.

Dari olah tempat kejadian polisi menemukan bercak darah di dinding dan tirai ruangan tersebut. Indikasi kuat memang telah terjadi tindakan kriminal. Mungkin korban telah dianiaya, dipukul, atau ditampar sedemikian rupa sehingga menyebabkan korban langsung terjatuh dan tewas seketika. Percikan darah di dinding dan tirai bisa menjadi buktinya. Kalau tidak demikian, tidak mungkin ada percikan darah sampai mengena di dinding dan tirai di ruangan tersebut.

Polisi telah menahan tiga orang debt collector Citibank itu sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, dan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.

Praktisi hukum Friska Gultom kepada Kompas (1/4) mengatakan, pasal tentang penganiayaan tidak tepat dipakai polisi. Sebab hasil otopsi tak meyebutkan adanya penganiayaan fisik. Pembuktian tuduhan adanya penganiayaan psikis juga akan sulit, karena “Bagaimana mau membuktikan bahwa korban teraniaya secara psikis kalau korban sudah tewas?”

Tapi Friska tidak menjelaskan juga, lalu, pasal apa yang tepat dipakai polisi untuk menjerat pelaku. Juga, seperti yang saya katakan di atas, apakah tidak mungkin memang korban telah dipukul, sekali saja dipukul, sedemikian kerasnya sampai pembuluh darah di otaknya pecah, keluar darahnya terpercik ke dinding dan tirai. Bisa saja dengan sekali pukul dan langsung tewas, maka bekas pukul tersebut tidak akan muncul, karena korban langsung menjadi mayat.

Sedangkan bukti teror secara psikis barangkali memang sulit dibuktikan. Tetapi indikasi itu bisa saja ada. Adalah tugas polisi untuk menemukannya. Misalnya, lewat SMS atau rekaman percakapan telepon. karena modus seperti inilah yang biasa dipakai para debt collector bank melancarkan aksi terornya.

Dari kesaksian teman korban yang datang ke tempat kejadian dan melihat tubuh korban yang terkapar begitu saja dilantai, terindikasi kuat pula bahwa sejak awal pihak Citibank telah menyadari tugaan telah terjadi tindakan kriminal pembunuhan di kantornya oleh debt collector-nya. Mula-mula mereka mengatakan korban hanya pingsan saja. Tetapi anehnya, tidak ada tindakan pertolongan pertama pada kecelakaan. Mereka juga tidak menghubungi ambulans, atau berupaya sgera membawa korban ke rumah sakit terdekat, tetapi yang mereka menghubungi malah pihak kepolisan. Beritanya di sini.

Peristiwa ini adalah peristiwa pertama kalinya seorang nasabah bank tewas di kantor bank tersebut akibat dari sesuatu yang diduga sebagai penyebab penganiayaan (secara fisik/psikis) dari pihak bank itu karena masalah hutang-piutang. Bahkan mungkin merupakan kejadian pertamakali perkara hutang-piutang antara bank dengan nasabahnya sampai mengakibatkan tewasnya seorang nasabah.

Perkara cara-cara pihak bank menagih hutangnya yang bermasalah kepada nasabahnya, baik itu nasabah kredit biasa, maupun terutama sekali yang paling menonjol adalah terhadap nasabah kartu kredit dengan cara-cara teror sudah sangat sering sekali terjadi. Bukan hanya pada Citibank, tetapi boleh dikatakan semua bank (penerbit kartu kredit).

Pernah sebuah bank swasta nasional dalam lembaran tagihan kartu kreditnya bahkan mencantumkan peringatan dengan kalimat yang terkesan mengancam, yang kurang-lebih bunyinya seperti ini: “Nasabah diharapkan melakukan pembayaran sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang ditetapkan. Apabila tidak, bilamana perlu kami akan melakukan tindakan-tindakan tegas yang diperlukan.” Saya sebutkan saja nama banknya: Bank Permata.

Lembaran dengan kalimat tersebut hanya muncul kira-kira di lima kali penagihan, setelah itu ditiadakan. Kemungkinan mereka mendapat komplain dari nasabah, atau teguran dari Assosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI).

Cara-cara penagihan dengan menggunakan jasa debt collector yang dalam menjalankan tugasnya tidak berbeda dengan cara preman menteror korbannya sudah lama sekali berlangsung Hal ini setidaknya tercermin dari banyaknya kejadian yang terungkap di media massa, dan banyaknya surat pembaca yang mengadu persoalan tersebut. Petugas debt collector bank penerbit kartu kredit sering sekali menjalankan tugasnya dengan cara yang sangat tidak etis, kasar, mencaci-maki, mengancam, dan sejenisnya bukan hanya kepada korban, tetapi juga keluarga korban lainnya yang tidak tahu-menahu turut dijadikan sasaran teror.

Teror-teror yang sebenarnya sudah tergolong tindakan kriminal itu dilakukan tanpa memperdulikan kalau ternyata mereka salah sasaran, karena korban bukan nasabah kartu kredit tersebut. Melainkan sebagai korban salah sasaran akibat dari manajemen bank sendiri yang tidak teliti dalam memperoleh data-data ketika baru pertama kali aplikasi kartu kredit tersebut diproses. Alias data yang diperoleh bank penerbit kartu kredit itu sebenarnya palsu, dengan cara menggunakan nama dan alamat orang lain. Bagaimana bisa teliti dan akurat kalau bank penerbit kartu kredit itu sangat gencar memburu setiap calon nasabahnya melalui proses yang sedemikian mudah? Cukup hanya mengisi formulir aplikasi, atau cukup dengan melalui penawaran melalui telepon, tanpa ada verifikasi data di lapangan sama sekali?

Pihak yang berwajib pun selama ini hanya diam saja membiarkan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya kriminal itu terus berlangsung begitu saja. Sampai sekarang, setelah jatuh korban jiwa barulah mulai bertindak. Apakah setelah ini polisi akan lebih memperhatikan permasalahan cara bank-bank penerbit kartu kredit menagih piutangnya yang bermasalah?

Dijamin, setelah kejadian tewasnya nasabah kartu kredit Citibank ini, praktek penagihan oleh debt collector bank ala preman ini pasti akan terus berlangsung seperti biasa.

Pihak bank dengan lihainya akan terus mempraktekkan cara-cara penagihan ala preman tersebut, dan akan berkelit ketika timbul masalah, seperti yang sudah-sudah. Pihak bank akan berkelit dengan mengatakan bahwa cara tersebut tidak sepengetahuan mereka, dan di luar prosedural yang ditetapkan bank. Padahal dengan menggunakan jasa debt collector mereka sebenarnya tahu, bahkan memang demikian maksudnya, yaitu menggunakan cara “potong kompas,” yakni penagihan dengan cara paksa dan teror supaya persoalan cepat selesai.

Maka kita pun tidak heran ketika pihak Citibank dalam peristiwa tewasnya nasabah kartukreditnya ini juga berkelit, atau cuci tangan dengan cara serupa.

Melalui Country Corporate Affairs Head Citi Indonesia, Ditta Amahorseya, pihak Citibank memberi pernyataan bahwa tiga orang yang kini dijadikan tersangka oleh polisi itu berasal dari agensi penagih hutang. “Tidak ada satu pun yang berstatus karyawan Citibank,” katanya. (Kompas, 1/4 ).

Selanjutnya Ditta menegaskan, Citibank memiliki kode etik yang harus dipatuhi penagih hutang, termasuk larangan menggunakan cara-cara teror dan kekerasan.

Citibank, katanya, memiliki dan mematuhi kode etik yang ketat sehubungan dengan proses proses penagihan hutang. Semua karyawan agensi yang mewakili Citibank dituntut untuk mematuhi kode etik tersebut setiap kali berinteraksi dengan nasabah, termasuk tidak menggunakan cara-cara teror, kekerasan, dan ancaman fisik, maupun psikis.

Sementara itu, nasabah tahunya mereka hanya berhubungan dengan pihak bank. Bukan dengan pihak ketiga. Dalam menjalankan tugasnya untuk menagih pun tidak pernah pihak debt collector itu menunjukkan bukti tertulis bahwa mereka memang berwenang melakukannya atas nama bank. Kenapa bank tidak pernah memberikan kuasa tertulis seperti itu?

Karena bank penerbit kartukredit itu sejak awal sudah tahu dan sudah mengantisipasi bahwa debt collector mereka akan menjalankan tugasnya dengan cara-cara yang tidak dibenarkan secara hukum. Apabila timbul akibat / risiko yang tidak diinginkan, maka pihak bank akan dengan gampang cuci tangan.

Kalau bukan demikian adanya, apa iya, pihak bank penerbit kartu kredit tersebut selama ini tidak tahu menahu sepak terjang, cara-cara debt collector mereka menjalankan tugasnya? Pasti mereka sudah sering sekali menerima komplain, baik secara langsung, maupun melalui surat pembaca mengenai ulah para debt collector tersebut dari para nasabahnya, atau mereka yang menjadi korban salah sasaran debt collector tersebut.

Pada kasus tewasnya Irzen Octa, nasabah kartu kreditnya, Citibank lewat pernyataan di atas terkesan akan cuci tangan, dan menjadikan debt collector-nya sebagai “tumbalnya.” Padahal peristiwa tersebut terjadi di dalam kantornya.

Karena Citibank telah menyediakan tempat, dan mengizinkan proses negosiasi yang berujung tewasnya nasabah, maka pihak Citibank tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja. Mereka juga harus diperiksa polisi.

Meskipun Citibank telah menyatakan bahwa mereka selalu berkomitmen dengan melarang debt collcetor-nya dalam menjalankan tugasnya menggunakan cara-cara yang melanggar hukum (teror, ancaman, merampas paksa barang milik debitur), tetapi faktanya berbicara lain.

Seperti kebanyakan bank lainnya dalam menagih debiturnya, debt collector Citibank juga terungkap beberapakali melakukan cara-cara melanggar hukum itu, seperti dalam kasus perampasan paksa barang milik debitur, dan teror melalui telepon dan SMS.

Misalnya, dalam kasus masabah Citi Finance, Suhendar, pemilik usaha distro Yodium di Bandung. Pada 23 Februari 2011, ketika tidak berada di kantornya, datang 6 orang debt collector dari Citi Finance yang melakukan penagihan paksa karena Suhendar telah melakukan penunggakan selama 4 bulan sebesar Rp 17 juta. Karena Suhendar tidak ada di tempat, dan pembayaran tidak bisa dilakukan, enam orang debt collector itu langsung bertindak sendiri dengan melakukan penyitaan paksa barang-barang yang ada di situ. Perkara ini telah diadu ke polisi oleh Suhendar. Beritanya bisa dibaca di sini.

Sedangkan teror melalui telepon dan SMS oleh debt collector Citibank Kartu Kredit, seperti dialami oleh dua orang yang menulis surat pembacanya, masing-masing dapat dibaca dari Iwan di Pondok Kelapa, Jakarta (24/01/2010), dan Michael Yauw di Semarang (17/02/2011).

Kenapa pihak bank doyan menggunakan jasa debt collector untuk menagih piutangnya yang biasanya jumlahnya relatif kecil? Alasan yang pasti dikemukakan adalah karena kalau melalui prosedur hukum yang sebenarnya akan memakan waktu yang lama, rumit dengan biaya yang tidak sebanding dengan jumlah piutang yang dimilikinya. Dengan menggunakan jasa debt collcetor semua itu dapat dipangkas.

Itu hanya alasan saja dari pihak bank, yang tidak mau menanggung sendiri akibat dari kecerobohan mereka sejak awal. Karena kerakusan mereka menjaring nasabah kartu kredit dan juga kredit tanpa agunan (KTA) sebanyak-banyaknya, segala cara mereka pakai, etika tidak digubris. Seperti menghubungi calon nasabahnya via telepon tanpa mengenal waktu berulang-ulang kali. Seperti yang saya sendiri pernah dan sampai sekarang mengalaminya. Dalam sehari bisa ditelepon sampai hampir 10 kali! Pagi sampai dengan malam hari!

Dalam kerakusan mereka mengejar target tinggi itu mereka pun mengabaikan segala macam tindakan-tindakan preventif, seperti prinsip kehati-hatian yang harus dipegang teguh bank dalam menjaring nasabah kreditnya. Cukup dengan mengisi aplikasi di mal-mal yang mereka gunakan untuk menjaring calon-calon nasabahnya, atau cukup dengan melalui telepon, setiap orang sudah bisa disetujui aplikasi kartu kredit atau KTA-nya. Tanpa ada tindakan verisikasi selanjutnya langsung di lapangan. Dalam menetapkan limit kredit pun terkesan sekali asal-asalan, yang tidak sesuai dengan kemampuan sebenarnya nasabah. Pokoknya dapat nasabah sebanyak-banyaknya, risikonya, bagaimana nanti saja. ‘Kan ada debt collector yang siap bertindak. Yang dalam nejalankan tugasnya siap dengan segala macam teror mental dan fisik, termasuk penyitaan paksa barang milik nasabah, penganiayaan fisik, bahkan sekarang sampai pada pembunuhan!

Sekarang Citibank kena batunya! Tapi, akankah peristiwa ini menjadi pelajaran bagi mereka? Juga bagi bank-bank lainnya? ***(kompas)